SERANG, RedaksiNews – Peristiwa gas air mata yang menyusup ke lingkungan kampus Universitas Pasundan (Unpas) dan Universitas Islam Bandung (Unisba) awal September 2025 menuai kecaman. Insiden itu dinilai menodai ruang akademik yang seharusnya bebas dari intimidasi dan ancaman.
Sekretaris Biro Penelitian, Pendidikan, dan Penyuluhan Hukum (P3H) Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Untirta, Muhammad Resta Jaelani, menegaskan bahwa kampus semestinya menjadi benteng kebebasan berpikir, bukan arena kekerasan aparat.
“Gas air mata yang masuk ke kampus jelas melanggar prinsip ruang aman akademik. Kampus adalah tempat pendidikan, bukan ruang konflik. Aparat seharusnya menahan diri dan mengedepankan pendekatan humanis, bukan represif,” ujar Resta kepada RedaksiNews, Sabtu (13/9/2025).
Konstitusi dan Perlindungan Ruang Akademik
Pasal 28E UUD 1945 menegaskan hak warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat. Namun, praktik penanganan aksi massa di sekitar kampus sering berujung pada benturan yang merugikan mahasiswa.
Resta menilai aparat belum mampu membedakan ruang publik dengan ruang akademik. “Kampus adalah zona yang harus dilindungi. Negara berkewajiban memastikan tidak ada bentuk intimidasi di dalamnya,” tambahnya.
Dampak Gas Air Mata di Lingkungan Kampus
Gas air mata yang menyebar bukan hanya menimbulkan iritasi mata dan sesak napas, tetapi juga trauma psikologis bagi mahasiswa. Proses belajar terganggu, ruang diskusi terhenti, bahkan muncul rasa takut untuk kembali beraktivitas di kampus.
“Efeknya bukan sebatas fisik. Ada ketidakpercayaan yang tumbuh dari mahasiswa kepada negara. Padahal, kampus harusnya menjadi ruang aman untuk melahirkan gagasan kritis,” kata Resta.
Seruan Permahi Untirta
Permahi Untirta menegaskan bahwa penggunaan kekuatan berlebihan harus dihentikan. Aparat diminta mengedepankan dialog dan pendekatan persuasif dalam mengelola demonstrasi, bukan menebar gas air mata yang merugikan mahasiswa.
“Jika pola represif ini terus dipertahankan, maka bukan hanya kenyamanan akademik yang hilang, tapi juga legitimasi negara dalam menjamin kebebasan berpendapat,” pungkas Resta.